Diskriminasi Jalan Raya

Salah satu aspek tata kota yang menarik perhatian adalah pembangunan system transportasi. System transportasi menyangkut pada pembangunan jaringan jalan raya yang menghubungan satu daerah dengan daerah lainnya. Jalan raya dibangun dan dikembangkan agar laju lalu lintas berjalan dengan baik. Jalan raya berperan penting dalam mobilisasi barang dan jasa kadang menjadi patokan keberhasilan pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat. Akses jalan dibuka berarti bersiap menerima laju pertumbuhan sebuah daerah.

Sayangnya, kebijakan pembangunan selama ini masih terpusat di kota besar saja. Pembangunan terpusat ini selalu mengutamakan daerah kota dibanding daerah luar kota. Hal ini terlihat salahsatunya dalam pembangunan jalan raya. Pemerataan pembangunan seolah hanya slogan belaka karena hamper 90 persen anggaran digunakan untuk pembangunan jalan kota, sementara daerah hanya bisa melihat dari jauh dengan kondisi seadanya.

Perbedaan pembangunan jalan raya antara kota dan daerah telihat dari struktur jalan yang digunakan. Struktur konstruksi jalan akan menentukan umur konstruksi jalan. Bandingkan struktur konstruksi jalan di kota dengan di daerah. Dengan konstruksi jalan biasa saja, wajar jika jalan di daerah lebih banyak rusak. Sementara di kota besar relatif kuat jika drainase terpelihara dengan baik. Berdasarkan data Dinas Bina Marga Kota Bandung 2008 yang dimuat Kompas, 29 Nopember 2010, bahwa setiap 5 kilometer terdapat sekitar 1 kilometer jalan yang rusak. Panjang jalan yang rusak tercatat 247 km pada 2008. Sebagian besar kerusakan terdapat pada jalan berstatus jalan kota. Dari 1.185 km jalan kota, sepanjang 238 km atau 20 persennya rusak (kompas, 29/11/2010).

Bandingkan dengan jalan yang rusak di kabupaten, berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Barat tahun 2009 jalan yang rusak sepanjang 7.709 kilometer. Bahkan sekitar 2.700 kilometer diantaranya rusak parah. Kerusakan ini mencakup sekitar 34 persen dari seluruh jalan kabupaten/kota di Jabar yang tercatat sepanjang 22.757 kilometer. Bila dicermati, jalan rusak terutama menjadi persoalan di tujuh kabupaten, yakni Bandung, Sukabumi, Bandung Barat, Tasikmalaya, Subang, Ciamis, dan Cirebon. Lebih dari 45 persen jaringan jalan di setiap kabupaten tersebut rusak (kompas, 29/11/2010).

Dari data tersebut terlihat bagaimana kabupaten lebih banyak kerusakan jalan daripada jaringan jalan di kota besar, padahal distribusi barang dan jasa dari kabupaten ke kota sangat penting. Kabupaten sebagai penyuplai kebutuhan warga kota. Bayangkan jika terjadi keterlambatan dalam akumulasi waktu bersamaan, masyarakat yang tinggal di kota besar akan mengalami krisis.

Sejarah Jalan Raya

Dalam bukunya Rekayasa Jalan Raya, Hendra Suryadharma menuliskan bahwa jalan raya sudah ada sejak manusia memerlukan area untuk berjalan terlebih-lebih setelah menemukan kendaraan beroda diantaranya berupa kereta yang ditarik kuda. Seiring perkembangan peradaban di Timur Tengah pada masa 3000 SM, maka dibangunlah jalan raya yang menghubungkan Mesopotamia-Mesir.  Selain untuk perdagangan, jalan tersebut berguna untuk kebudayaan bahkan untuk  peperangan. Jalan utama pertama di kawasan itu, disebut-sebut adalah Jalan Bangsawan Persia yang terentang dari Teluk Persia hingga Laut Aegeae sepanjang 2857 km. Jalan ini bertahan dari tahun 3500-300 SM.

Jalan raya dapat meningkatkan kegiatan ekonomi di suatu tempat karena menolong orang untuk pergi atau mengirim barang lebih cepat ke suatu tujuan. Dengan adanya jalan raya, komoditi dapat mengalir ke pasar setempat dan hasil ekonomi dari suatu tempat dapat dijual kepada pasaran di luar wilayah itu. Selain itu, jalan raya juga mengembangkan ekonomi lalu lintas di sepanjang lintasannya.

Perbandingan Jalan

Sekarang bandingkan pesatnya pembangunan jalan raya di dalam kota dengan jalan antar daerah. Sebut saja Kota Bandung dan DKI Jakarta, bandingkan dengan rencana jalur selatan Jawa Barat. Kota Bandung pada tahun 2012 berencana akan membangun jalan tol dalam kota, menambah jalur dari jalur yang sudah ada. Jalur yang sudah ada, bahkan beberapa titik sudah permanen dengan konstruksi beton. Apalagi DKI Jakarta, tidak cukup membuat underpass, lalu membuat flyover dengan alasan mengurai kemacetan. Kedua kota ini sangat pesat dalam memenuhi kebutuhan akses jalannya.

Sementara kita coba lihat ke daerah, jalur selatan Jawa Barat yang dimulai sejak tahun 2000, hingga kini belum mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan karena terlalu lama didiamkan, kondisi jalan dalam beberapa titik sudah banyak mengalami kerusakan.

Dengan kondisi ini, harusnya pemangku kebijakan bisa mengimplementasikan pemerataan pembangunan dengan memperhatikan akses jalan ke daerah-daerah. Jangan hanya jalan raya di dalam kota saja yang terus menerus ditambah dan diperhatikan, sementara jalan kabupaten atau jalan daerah dibiarkan terbengkalai.

Jika akses jalan sudah dibangun dengan baik, jalur distribusi barang dan jasa dari kota dan daerah bisa berjalan dengan baik. Harapannya grafik perpindahan masyarakat dari daerah ke kota besar, menurun. Dengan akses jalan yang baik, daerah bisa mengembangkan diri menjadi kota yang mandiri. ( oleh: iden wildensyah )

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.