“Arsitektur adalah ilmu yang timbul dari ilmu-ilmu lainnya, dan dilengkapi dengan proses belajar, dibantu dengan penilaian terhadap karya tersebut sebagai karya seni” (Vitruvius dalam bukungan De Architectura)
Arsitektur memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku social, budaya dan lingkungan hidup. Peran arsitektur sangat besar terhadap perubahan. Baik itu perubahan ke arah positif juga perubahan ke arah sebaliknya. Perubahan kearah sebaliknya ini yang kadang tidak disadari oleh arstitek. Dasar pikiran yang nyata bahwa perencanaan ruang yang semena-mena tanpa melihat karakteristik daerah, seperti banyaknya lahan yang seharusnya menjadi lahan untuk konservasi di habiskan oleh desain untuk kepuasan pengembang semata dan kebutuhan pasar.
Fenomena ruang terbuka hijau yang kian lama menjadi sempit membuat masyarakat umum semakin sulit mengakses ruang bersama. Ketidakberadaan ruang publik ini adalah bencana tidak langsung yang pada akhirnya akan mengkotak-kotakan masyarakat dengan sikap egoistis dan individualistik, dengan sendirinya akan menghilangkan rasa kebersamaan yang menjadi ciri masyarakat timur.
Dalam skala kecil, pembangunan rumah untuk keluarga dipengaruhi secara tidak langsung oleh kondisi lingkungan sosial dalam skala besar. Rumah adalah kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia selain kebutuhan akan sandang dan pangan.manusia akan membutuhkan rumah sebagai tempat tinggal dan sebagai tempat berlindung dari segala macam ancaman.
Arsitektur dan Modal Sosial
Sebuah buku berjudul Arsitektur, Komunitas dan Modal Sosial, mengupas tuntas tentang keterkaitan antara Arsitektur dan perilaku social. Dalam buku yang di tulis oleh Prof. Dr. M. Syaom Barliana ini membuka cakrawala keilmuan yang sangat penting. Buku ini mengajak kepada semua pihak yang terkait untuk memperhatikan setiap akibat dari perencanaan.
Buku ini dibuka dengan sebuah kondisi nyata yang terjadi di masyarakat, kondisi umum yang terjadi di kota-kota besar seperti konflik social, kekerasan, kerusuhan social, vandalism, alienasi, anomie, apatisme social dan kriminalitas. Ini merupakan realitas yang semakin tampak sebagai sebuah kecenderungan dan menjadi perilaku keseharian masyarakat kota di Indonesia (hal 2). Untuk menguatkan kondisi ini, penulis cukup banyak memberikan contoh terjadinya pergeseran perilaku masyarakat kota dalam kehidupan bermasyarakatnya. Semua pergeseran perilaku social ini ditarik benang merahnya terjadi karena penataan ruang dan arsitektur perumahan yang mengalami perubahan secara signifikan.
Dengan menggunakan data-data yang cukup actual di lapangan dengan objek perumahan, seperti di perumahan Parahyangan Rumah Villa, Sarijadi, Sanggar Hurip Estate, Batununggal Indah, Riung Bandung, Gading Regency, Antapani, Taman dan Golf Arcamanik Endah. Data perumahan ini mengajak pembaca untuk mengetahui sisi-sisi lain yang jarang terungkap secara luas. Misalnya sebut saja kualitas arsitektur perumahan, yang mencakup tata atur lingkungan, fungsi arsitektur dan penampilan arsitektur. Dalam tata atur lingkungan, disinggung tentang pentingnya ruang terbuka. Ruang terbuka yang baik menjadi ruang public yang menjadi wadah bagi aktivitas khalayak untuk mengekspresikan kultur demokrasi, interaksi, relasi social, dan pertumbuhan peradaban masyarakat. Ini yang mendasari bahwa ketiadaan ruang terbuka bisa memberikan banyak akibat kondisi sebaliknya dari tatanan ideal adanya ruang terbuka.
Tentang hubungannya dengan Perilaku Spasial, disini dijabarkan dalam identitas tempat dan teritorialitas. Identitas tempat perumahan adalah karakteristik arstitektur perumahan yang dicerap dan dipersepsi oleh komunitas penghuni. Konsep identitas tempat ini mengadopsi konsep “citra kota” dari Kevin Linch (1981) dan teori ‘’Place” Markus Zanhd (1999) yang menyatakan bahwa identitas tempat berkaitan dengan makna dan perasaan pemakai tentang tempat dan citra (arsitektur), dimana seseorang mengenal dan memahami lingkungannya, karena memiliki suatu cirri khusus, keunikan, atau kejelasan tertentu. Sementara Teritorialitas adalah suatu konsep sosio-arsitektur yang diturunkan dari konsep psikologi-lingkungan tentang perasaan kepemilikan (psychological ownership).
Bahasan yang menarik lainnya, yang merupakan ruh dari buku ini adalah bagian lima tentang hubungan arsitektur, perilaku spasial dan modal social. Konsep besarnya adalah manusia membentuk ruang dan ruang membentuk manusia. Ini menyangkut pada factor yang berpengaruh terhadap modal social antara lain: sejarah kebudayaan, struktur social (horizontal dan vertical), keluarga, pendidikan, lingkungan binaan, mobilitas hunian, kelas social dan kesenjangan ekonomi, karakteristik dan kekuatan masyarakat madani (civil society), serta pola konsumsi individu dan nilai-nilai personal. Arsitektur (lingkungan binaan) dan mobilitas resindensial merupakan determinan dalam pengembangan social. Salahsatu contoh yang dipaparkan dalam buku ini adalah kota Bandung hasil penelitian Lauren (2006). Pada perumahan urban di kota Bandung, mengenai hubungan antara tipologi bangunan dan morfologi kawasan dengan perilaku lingkungan, dilakukan dengan pendekatan situasional atau secara spesifik dikenal sebagai “pencegahan tindak criminal melalui perencanaan lingkungan (Crime Prevention Through Environmental Design (CPTED). Penelitian terhadap objek studi kawasan perumahan dengan tingkat kriminalitas tinggi, sedang, dan rendah, menyimpulkan bahwa lingkungan dapat berperan dalam mengarungi peluang terjadinya tindak criminal. Penelitian ini mengungkapkan bahwa lingkungan yang ditata sedemikian rupa, yang pada satu sisi menyediakan partisipasi komunitas dan meningkatkan pengawasan pada sisi lainnya, dapat mengurangi kemungkinan terjadinya tindak kejahatan.
Arsitektur berperan penting dalam perilaku spasial dan modal social. Hasil penelitian menunjukan bahwa kontribusi factor-faktor arsitektural terhadap modal social pada level perumahan menengah besar dan menengah kecil terjadi perbedaan yang signifikan. Pada perumahan menengah besar, kontribusi factor-faktor tersebut jauh lebih besar (54%) dibandingkan dengan pada perumahan menengah kecil (23%) dan sisanya ditentukan oleh factor-faktor lain. Hal ini disebabkan misalnya dalam masyarakat golongan menengah, oleh kecenderungan bersikap individualistis, sangat mementingkan privasi, serta menciptakan relasi social yang lebih didasarkan pada transaksi ekonomi. Sebaliknya dalam masyarakat golongan menengah ke bawah, seperti yang diungkapkan oleh Youngentob dan Mark Hostetler (2005) – sense of community, memelihara perasaan kebersamaan dalam komunitas, relasi dan interaksi yang didasari oleh transaksi social daripada motif ekonomi, serta memiliki ruang privasi yang lebih longgar. Atas dasar ini, factor pengaruh dan kontribusi lingkungan fisik tidak terlalu dominan mendorong peningkatan modal social. Namun demikian, seperti yang dituliskan buku ini, argument tersebut masih sangat hipotetikal dan perlu diteliti lebih lanjut, serta tidak lalu mereduksi temuan penelitian yang menyatakan bahwa terdapat korelasi dan pengaruh signifikan dari factor, tata atur lingkungan, fungsi arsitektur, penampilan arsitektur, identitas tempat dan teritorialitas arsitektur terhadap modal social.
Masjid (tempat peribadatan) memiliki peran yang baik dalam membangun relasi social, adanya masjid memungkinkan warga penghuni saling berhubungan, berinteraksi. Masjid memperkuat modal social dengan tipologi bonding, salahsatu ciri khasnya adalah bahwa baik kelompok maupun anggota kelompok, lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan berorientasi ke luar (outward looking) dalam konteks ide, relasi, dan perhatian (hal 116-117).
Hal Yang Menarik
Buku yang diterbitkan kerjasama Metatekstur Penerbit Diskursus dengan Laboratorium Sejarah Arsitektur, Kota dan Budaya Bermukim Jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur Universitas Pendidikan Indonesia ini mengkaji realitas social oleh arsitektur. Menyajikan data-data serta penyampaian yang sangat menarik. Diikuti dengan gambar-gambar ilustrasi untuk menguatkan argument. Sebuah gambar ilustrasi bisa berbicara banyak pada pembaca, membawanya pada bayangan tempat yang dimaksud. Kelebihan selanjutnya adalah data penelitian, jika hendak membukukan sebuah hasil penelitian menjadi sebuah buku yang menarik dibaca, buku ini bisa menjadi sebuah acuan.
Bagi pembaca umum, kehadiran buku ini bisa menjadi semacam rekomendasi untuk memilih tempat tinggal. Memberikan alternative pilihan-pilihan yang menarik dengan kajian arsitektur dan perilaku social. Memilih tempat tinggal berarti memilih kenyamanan, lingkungan yang nyaman, aman dan memiliki estetika untuk kepuasan penghuninya. Untuk mendapatkan hal itu, sebelum memilih tempat tinggal, baiknya melihat referensi arsitektur dan perilaku social masyarakat.
Sedikit kritiknya hanya pada ilustrasi gambar yang diambil dari internet, menjadi pecah ketika di simpan dalam teks buku ini. Sebut saja Gambar 2.9 Villa Savoye (hal 42), Gambar 2.20 Parthenon (hal 49) dan Gambar 2.28 Museum Louvre (hal 56). Gambar-gambar itu menjadi pecah dan tidak terlihat menarik. Diluar kritik yang sedikit itu, bagi saya buku ini tetap menarik karena membukakan cakrawala baru tentang Arsitektur dan Humaniora. Dan Saya pikir Humaniora merupakan ilmu yang erat hubungannya dengan arsitektur disamping juga lingkungan hidup.
“For most people technology makes things easier, for person with disabilities it makes things possible” (New Technologies and Employment of Disabled Persons, Hunt & Berkowitz ).
Judul Buku : Arsitektur, Komunitas, dan Modal Sosial
Penulis : M. Syaom Barliana
Tebal : 192 hal + viii
Cetakan : I Februari 2010
Penerbit : Metatekstur
oleh: iden wildensyah